Entri Populer

Rabu, 06 April 2011

Mengenal cinta, indah dan Islami


“Keindahan pernikahan akan tercipta bila suami berorientasi memenuhi hak istri dan menjalankan tugas suami, begitu juga sebaliknya…..”

Ada yang disebut enak, ada pula yang diesbit nikmat. Ada orang yang makan enak tapi tidak nikmat. Sebaliknya, ada orang yang makan nikmat sekali, walaupun makanannya kelihatan tidak enak (sederhana). Nikmat itu bersifat psikis, emosional. Uang bisa membeli senyuman, tapi tidak bisa membeli ketulusan.”
Dengan ungkapan diatas, pakar pernikahan dan parenting Muhammad Fauzil Adhim mencoba menggambarkan keindahan pernikahan dalam islam. Menurutnya, islam mengajarkan bahwa hubungan (relationship) antara suami dan istri bukan berlandaskan pada kewajiban (misalnya, bak istri kepada suami). Seharusnya, apa pun yang dilakukan oleh suami atau istri kepada pasangannya dalam kerangka ketaatan kepada Allah.

Jadi, hubungan suami dan istri itu tidak transaksional. Dengan kata lain, hubungan ini lebih tulus dan tidak bisa dibeli dengan uang. “kalau kita bisa melakukan hal-hal yang lebih baik untuk pasangan kita, maka hal itu kita lakukan. Mengapa? Karena orientasi kita adalah mencari ridha atau pahala dari Allah, bukan mengharapkan balasan yang lebih baik dari pasangan kita. Bahwa ia membalas kebaikan kita dengan balasan yang lebih baik lagi, itu merupakan Sunatullah,” papar penulis best seller tentang pernikahan.
Fauzil yang pernah menjadi dosen Fakultas Psikologi UII Yogyakarta menambahkan, yang membuat pernikahan bahagia adalah orientasi pernikahan yang kuat. Semakin kuat orientasinya, semakin besar peluang pernikahan itu bertahan lama dan bahagia.

Sebaliknya, pernikahan yang dilandasi oleh harapan-harapan akan mudah menuai masalah. Semakin tinggi harapan yang dipancangkan saat akan menikah, akan makin rentan terhadap kekecewaan. Kalau suami berharap istrinya melakukan ini-itu, atau menjadi begini-begitu, namun ternyata istrinya tidak bisa seperti itu, atau belum bisa seperti itu, ia jadi kecewa.
Misalnya, seorang lelaki menikahi perempuan berjilbab yang juga seorang muslimah aktivis. Ketika ia hendak Tahajjud, ternyata istrinya sulit dibangunkan. Kalau ia menikah berlandaskan harapan, ia akan kecewa. “akhwat kok sulit sekali dibangunkan untuk shalat Tahajjud?” namun, kalau berangkatnya dengan orientasi ketaatan kepada Allah, semua itu indah saja.

“membangunkan istri untuk shalat Tahajjud merupakan sesuatu yang sangat membahagiakan. Nabi memuji suami yang bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud dan membangunkan istrinya dengan penuh kasih sayang untuk bersama-sama melakukan ibadah kepada Allah,” ungkap Fauzil.
Semoga kita menuju untuk pernikahan dengan berorentasi mengharapkan Ridha dan Pahala dari Allah SWT. Amiiin…….

Memilih calon terbaik
Sebuah pernikahan yang indah, tentu dimulai dengan memilih calon suami atau istri terbaik. kriteria bersifat fisik merupakan sesuatu yang manusiawi, namun jangan terpuakau hanya oleh penampilan fisik saja.

Rasulullah mengatakan, “ perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikan (ketampanannya) dank arena agamanya. (jika tidak bisa mendapatkan keempat criteria tersebut) hendaklah engkau memilih yang agamanya kuat, pasti engkau berbahagia.”
Menurut salah seorang Pengasuh Pondok Pesantren Darul’ulum Jombang, HM Dahlan Bisri Lc, apabila seorang pria atau wanita yang memilih pasangannya hanya karena kecantikan atau ketampanan itu pasti akan memudar seiring bertambahnya usia. Bila faktor kekayaan yang jadi pertimbangan  utama, maka kekayaan itu bisa hilang.



Namun bila persyaratan utamanya adalah agamanya yang kuat dan bagus, maka kehidupan keluarganya bisa dipastikan akan berjalan dengan baik dan harmonis. “sesuatu yang dilaksanakan berlandaskan pada ajaran agama, niscaya kehidupannya akan bahagia. Sebab, dengan agama, maka hidupnya akan menjadi lebih terarah, bukankah Dunia ini laksana perhiasan yg menipu dan akhirat adalah kehidupan keabadian dengan menjalankan kehidupan sekarang dengan orientasi kepada Allah…….salam Ukhuwah…..  

Selasa, 05 April 2011

kesedihan adalah laksana awan tebal, malam pekat yang panjang, dan aral panjang yang melintang di tangah jalan ke arah kemuliaan. (Jangan Bersedih)


kesedihan adalah lakasana awan tebal, malam pekat yang panjang, dan aral panjang yang melintang di tangah jalan ke arah kemuliaan. Bersedih itu sangat dilarang. Ini ditegaskan dalam firman Allah yang
berbunyi,
{Dan, janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati.}
(QS. Ali 'Imran: 139)

"Janganlah bersedih atas mereka" (kalimat ini disebut berulangkali dalam
beberapa ayat al-Quran) dan,
{Janganlah kamu bersedih sesungguhnya Allah selalu bersama kita.}
(QS. At-Taubah: 40)

Adapun firman Allah yang menunjukkan bahwa kesedihan (bersedih)
itu tak bermanfaat apapun adalah,
{Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.}
(QS. Al-Baqarah: 38)

Bersedih itu hanya akan memadamkan kobaran api semangat, meredakan tekad, dan membekukan jiwa. Dan kesedihan itu ibarat penyakit demam yang membuat tubuh menjadi lemas tak berdaya. Mengapa demikian? Tak lain, karena kesedihan hanya memiliki daya yang menghentikan dan bukan menggerakkan. Dan itu artinya sama sekali tidak bermanfaat bagi hati. Bahkan, kesedihan merupakan satu hal yang paling disenangi setan. Maka dari itu, setan selalu berupaya agar seorang hamba bersedih untuk menghentikan setiap langkah dan niat baiknya. Ini telah diperingatkan Allah dalam firman-Nya,
{Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan supaya orang-orang
mukmin berduka cita.} (QS. Al-Mujadilah: 10)

Syahdan, Rasulullah s.a.w. melarang tiga orang yang sedang berada dalam satu majelis demikian, "(Janganlah dua orang di antaranya) saling melakukan pembicaraan rahasia tanpa disertai yang ketiga, sebab yang demikian itu akan membuatnya (yang ketiga) berduka cita." Dan bagi seorang mukmin, kesedihan itu tidak pernah diajarkan dianjurkan. Soalnya, kesedihan merupakan penyakit yang berbahaya bagi jiwa. Karena itu pula, setiap muslim diperintahkan untuk mengusirnya jauh-jauh dan dilarang tunduk kepadanya. Islam juga mengajarkan kepada setiap muslim agar senantiasa melawan dan menundukkannya dengan segala pelaratan yang telah disyariatkan Allah s.w.t. Bersedih itu tidak diajarkan dan tidak bermanfaat. Maka dari itu, Rasulullah s.a.w. senantiasa memohon perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari kesedihan. Beliau selalu berdoa seperti ini, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan duka cita."

Kesedihan adalah teman akrab kecemasan. Adapun perbedaannya antara keduanya adalah manakala suatu hal yang tidak disukai hati itu berkaitan dengan hal-hal yang belum terjadi, ia akan membuahkan kecemasan. Sedangkan bila berkaitan dengan persoalan masa lalu, maka ia akan membuahkan kesedihan. Dan persamaannya, keduanya sama-sama dapat melemahkan semangat dan kehendak hati untuk berbuat suatu kebaikan. Kesedihan dapat membuat hidup menjadi keruh. Ia ibarat racun berbisa bagi jiwa yang dapat menyebabkannya lemah semangat, krisis gairah, dan galau dalam menghadapi hidup ini. Dan itu, akan berujung pada ketidakacuhan diri pada kebaikan, ketidakpedulian pada kebajikan, kehilangan semangat untuk meraih kebahagian, dan kemudian akan
berakhir pada pesimisme dan kebinasaan diri yang tiada tara. Meski demikian, pada tahap tertentu kesedihan memang tidak dapat dihindari dan seseorang terpaksa harus bersedih karena suatu kenyataan. Berkenaan dengan ini, disebutkan bahwa para ahli surga ketika memasuki surga akan berkata, {Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami.} (QS. Fathir: 34)
Ini menandakan bahwa ketika di dunia mereka pernah bersedih sebagaimana mereka tentu saja pernah ditimpa musibah yang terjadi di luar ikhtiar mereka. Hanya, ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak lagi memiliki cara untuk menghindarnya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala. Itu terjadi, karena kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan. Maka dari itu, ketika seorang hamba ditimpa kesedihan hendaknya ia senantiasa melawannya dengan
doa-doa dan sarana-sarana lain yang memungkinkan untuk mengusirnya.

{Dan, tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datangkepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraaan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh
apa yang akan mereka nafkahkan.}
(QS. At-Taubah: 92)

Demikianlah, mereka tidaklah dipuji dikarenakan kesedihan mereka semata. Tetapi, lebih dikarenakan kesedihan mereka itu justru mengisyaratkan kuatnya keimanan mereka. Pasalnya, kesedihan mereka
berpisah dengan Rasulullah adalah dikarenakan tidak mempunyai harta yang akan dibelanjakan dan kendaraan untuk membawa mereka pergi berperang. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang munafik yang tidak merasa bersedih dan justru gembira manakala tidak mendapatkan kesempatan untuk turut berjihad bersama Rasulullah. Kesedihan yang terpuji — yakni yang dipuji setelah terjadi — adalah kesedihan yang disebabkan oleh ketidakmampuan menjalankan suatu ketaatan atau dikarenakan tersungkur dalam jurang kemaksiatan. Dan kesedihan seorang hamba yang disebabkan oleh kesadaran bahwa kedekatan dan ketaatan dirinya kepada Allah sangat kurang. Maka, hal itu menandakan bahwa hatinya hidup dan terbuka untuk menerima hidayah dan cahaya- Nya. Sementara itu, makna sabda Rasululllah dalam sebuah hadis shahih yang berbunyi, "Tidaklah seorang mukmin ditimpa sebuah kesedihan, kegundahan dan kerisauan, kecuali Allah pasti akan menghapus sebagian dosa-dosanya," adalah menunjuk bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan itu merupakan musibah dari Allah yang apabila menimpa seorang hamba, maka hamba tersebut akan diampuni sebagian dosa-dosanya. Dengan begitu, haditsini berarti tidak menunjukkan bahwa kesedihan, kegundahan dan kerisauan merupakan sebuah keadaan yang harus diminta dan dirasakan. Bahkan, seorang hamba justru tidak dibenarkan meminta atau mengharap kesedihan dan mengira bahwa hal itu merupakan sebuah ibadah yang diperintahkan, diridhai atau disyariatkan Allah untuk hamba-Nya.
Sebab, jika memang semua itu dibenarkan dan diperintahkan Allah, pastilah Rasulullah s.a.w. akan menjadi orang pertama yang akan mengisi seluruh waktu hidupnya dengan kesedihan-kesedihan dan akan menghabiskannya dengan kegundahan-kegundahan. Dan hal seperti itu jelas sangat tidak
mungkin. Karena, sebagaimana kita ketahui, hati beliau selalu lapang dan wajahnya selalu dihiasi senyuman, hatinya selalu diliputi keridhaan, dan perjalanan hidupnya selalu dihiasi dengan kegembiraan.

Siapa saja membaca, menghayati, dan mendalami sejarah perjalanan hidup beliau dengan seksama dan menyeluruh, maka ia akan mengetahui bahwa Rasulullah s.a.w. diturunkan ke dunia ini untuk menghancurkan kebatilan, mengusir kesuntukan, kegelisahan, kesedihan dan kecemasan, serta membebaskan jiwa dari tekanan keragu-raguan, kebingungan, kegundahan dan keguncangan. Bersamaan dengan itu, beliau juga diutus untuk menyelamatkan jiwa manusia dari segala bentuk hawa nafsu yang membinasakan. Dan: kesedihan itu adalah salah satu musibah dari Allah yang ditimpakan kepada hamba-Nya untuk mengujinya. Artinya, jika hamba tersebut mampu menghadapinya dengan kesabaran, maka sesungguhnya Allah mencintai kesabaran orang tersebut dalam menghadapi cobaan itu.

Demikianlah, maka merupakan kesalahan besar bagi orang-orang yang memuja kesedihan, senantiasa berusaha menciptakan kesedihan, dan mencoba membenar-benarkan kesedihan mereka dengan dalih bahwa syariat telah menganjurkan dan memandangnya sebagai sesuatu yang baik. Sebab, pada kenyataannya dalil-dalil syariat melarang hal itu. Bahkan, syariat justru memerintahkan setiap manusia agar tidak bersedih dan selalu ceria. Hadits lain menyebutkan, "Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memancangkan sebuah gemuruh ratapan di dalam hatinya. Dan apabila
Dia membenci seorang hamba, maka Dia akan menanamkan seruling nyanyian di dalam dadanya."
Memang, hadist ini bersumber dan berasal dari Israiliyat (mitos Bangsa Israel). Ada pula yang mengatakan bahwa hadits ini termaktub dalam Taurat. Meski demikian, perkataan ini memiliki pesan makna yang benar. Sebagaimana sering kita lihat, orang mukmin akan senantiasa bersedih atas
dosa-dosa yang pernah dilakukannya, sementara orang yang durhaka akan senantiasa lalai, tidak pernah serius, dan berdendang kegirangan justru karena dosa-dosanya. Dan kalaupun ada kesedihan yang menimpa orangorang salih, maka itu tak lebih dari sebuah penyesalan terhadap kebaikankebaikan yang terlewatkan, ketidakmampuan mereka mencapai derajat yang tinggi dan kesadaran bahwa mereka telah melakukan banyak kesalahan. Demikianlah, alasan yang mendasari kesedihan ini berbeda dengan alasan yang mendasari kesedihan orang-orang yang durhaka. Mereka bersedih karena tidak mendapatkan keduniaan, keindahan, dan kenikmatan duniawi. Kesedihan, kegundahan dan kegelisahan mereka adalah karena keduniaan, untuk keduniaan dan di jalan menuju keduniaan. Dalam sebuah Firman-Nya, Allah menceritakan keadaan seorang nabi dari Bani Israel demikian, {Dan, kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (kepada anak-anaknya).} (QS. Yusuf: 84) Ayat ini mengabarkan tentang kesedihan Nabi Ya'qub saat harus kehilangan anak yang menjadi kekasihnya. Ini merupakan kabar bahwa cobaan tersebut sama beratnya dengan musibah atau ujian yang dirasakan oleh seseorang saat dipisahkan dengan buah hatinya. Betapapun, ayat di atas hanya sekadar memberi kabar dan lukisan tentang beratnya cobaan seorang nabi. Dan itu bukan berarti bahwa kesedihan seperti itu diperintahkan atau dianjurkan. Bahkan justru sebaliknya, kita diperintahkan untuk ber-isti'adzah (memohon perlindungan) kepada Allah dari segala kesedihan. Sebab, bagaimanapun kesedihan adalah lakasana awan tebal, malam pekat yang panjang, dan aral panjang yang melintang di tangah jalan ke arah kemuliaan. Selain Abu Utsman al-Jabari, semua ahli sufi sepakat bahwa bersedih karena perkara duniawi itu tidak terpuji. Menurut Abu Ustman, kesedihan itu —apapun bentuknya— adalah sebuah keutamaan dan tambahan kebajikan bagi seorang mukmin, yakni dengan syarat bila kesedihan itu bukan dikarenakan suatu kemaksiatan. la juga mengatakan, "Bahwa kalau kesedihan itu tidak diwajibkan secara khusus, maka ia diwajibkan sebagai sarana mensucikan diri." Syahdan, ada pula yang berkata, "Tidak diragukan lagi bahwa kesedihan merupakan ujian dan cobaan dari Allah sebagaimana halnya penyakit, kegundahan, dan kegalauan. Namun jika dikatakan bahwa kesedihan adalah tingkatan yang harus dilalui seorang sufi adalah tidak benar." Atas dasar itu, sebaiknya Anda berusaha untuk senantiasa gembira dan berlapang dada. Jangan lupa memohon kepada Allah agar selalu diberi kehidupan yang baik dan diridhai, kejernihan hati, dan kelapangan pikiran. Itulah kenikmatan-kenikmatan di dunia. Betapapun, sebagian ulama mengatakan bahwa di dunia ini terdapat surga, dan barangsiapa tidak pernah memasuki surga dunia itu, maka ia tidak akan masuk surga akhirat. Allah adalah satu-satunya Dzat yang pantas kita mohon agar melapangkan hati kita dengan cahaya iman, menunjukkan hati kepada jalan- Nya yang lurus, dan menyelamatkan kita kehidupan yang susah dan menyesakkan.