Entri Populer

Kamis, 23 Januari 2014

Keluarga Sakinah, Mawadah Warohmah dalam arti sebenarnya

Potret Suami Ideal Dalam Rumah Tangga


suamiKU..yang shaleh adalah suami yg dapat membimbing istrinya kejalan yang diridhai Allah dan Rasulnya
.....istriKU...yang shalehah adalah istri yang taat kepada suaminya dan melaksanakan perintah Allah dan RasulNya
Menjadi suami dan bapak ideal dalam rumah tangga? Tentu ini dambaan setiap lelaki, khususnya yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir. Dan tentu saja ini tidak mudah kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Sosok kepala rumah tangga ideal yang sejati, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى»
Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku1.
Karena kalau bukan kepada anggota keluarganya seseorang berbuat baik, maka kepada siapa lagi dia akan berbuat baik? Bukankah mereka yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih sayang dari suami dan bapak mereka karena kelemahan dan ketergantungan mereka kepadanya?2. Kalau bukan kepada orang-orang yang terdekat dan dicintainya seorang kepala rumah tangga bersabar menghadapi perlakuan buruk, maka kepada siapa lagi dia bersabar?.
Imam al-Munawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat argumentasi yang menunjukkan (wajibnya) bergaul dengan baik terhadap istri dan anak-anak, terlebih lagi anak-anak perempuan, (dengan) bersabar menghadapi perlakuan buruk, akhlak kurang sopan dan kelemahan akal mereka, serta (berusaha selalu) menyayangi mereka”3.

Potret Kepala Keluarga Ideal Dalam Al-Qur-an

Allah Ta’ala menggambarkan sosok dan sifat kepala keluarga ideal dalam beberapa ayat al-Qur-an, di antaranya dalam firman-Nya:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ}
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’: 34).
Inilah sosok suami ideal, dialah lelaki yang mampu menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya bagi istri dan anak-anaknya. Memimpin mereka artinya mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan, dengan memerintahkan mereka menunaikan kewajiban-kewajiban dalam agama dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan yang ada pada diri mereka4.
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:
{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولا نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا}
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan dia (selalu) memerintahkan kepada keluarganya untuk (menunaikan) shalat dan (membayar) zakat, dan dia adalah seorang yang di ridhoi di sisi Allah” (QS Maryam: 54-55).
Inilah potret hamba yang mulia dan kepala rumah tangga ideal, Nabi Ismail ‘alaihissalam, sempurna imannya kepada Allah, shaleh dan kuat dalam menunaikan ketaatan kepada-Nya, sehingga beliau‘alaihissalam meraih keridhaan-Nya. Tidak cukup sampai di situ, beliau ‘alaihissalam juga selalu membimbing dan memotivasi anggota keluarganya untuk taat kepada Allah, karena mereka yang paling pertama berhak mendapatkan bimbingannya5.
Demukian pula dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqaan: 74).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang beriman karena mereka selalu mendokan dan mengusahakan kebaikan dalam agama bagi anak-anak dan istri-istri mereka. Inilah makna “qurratul ‘ain” (penyejuk hati) bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat6.
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah, tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata (hati) seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala7.

Beberapa Sifat Kepala Rumah Tangga Ideal

1. Shalih Dan Taat Beribadah
Keshalehan dan ketakwaan seorang hamba adalah ukuran kemuliaannya di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ}
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
Seorang kepala rumah tangga yang selalu taat kepada Allah Ta’ala akan dimudahkan segala urusannya, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan anggota keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah Ta’ala akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)8.
Bahkan dengan ketakwaan seorang kepala rumah tangga, dengan menjaga batasan-batasan syariat-Nya, Allah Ta’ala akan memudahkan penjagaan dan taufik-Nya untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu9.
Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepada-Nya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya10. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu”: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu11.
Penjagaan Allah Ta’ala dalam hadits ini juga mencakup penjagaan terhadap anggota keluarga hamba yang bertakwa tersebut12.
2. Bertanggung Jawab Memberi Nafkah Untuk Keluarga
Menafkahi keluarga dengan benar adalah salah satu kewajiban utama seorang kepala keluarga dan dengan inilah di antaranya dia disebut pemimpin bagi anggota keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ}
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’: 34).
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:
{وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS al-Baqarah: 233).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya tentang hak seorang istri atas suaminya, beliau  bersabda: “Hendaknya dia memberi (nafkah untuk) makanan bagi istrinya sebagaimana yang dimakannya, memberi (nafkah untuk) pakaian baginya sebagaimana yang dipakainya, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya kecuali di dalam rumah (saja)13.
Tentu saja maksud pemberian nafkah di sini adalah yang mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan tidak kurang. Karena termasuk sifat hamba-hamba Allah Ta’ala yang bertakwa adalah mereka selalu mengatur pengeluaran harta mereka agar tidak terlalu boros adan tidak juga kikir. Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).
Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)14.
Ini semua mereka lakukan bukan karena cinta yang berlebihan kepada harta, tapi kerena mereka takut akan pertanggungjawaban harta tersebut di hadapan Allah Ta’ala di hari kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya15.
3. Memperhatikan Pendidikan Agama Bagi Keluarga
Ini adalah kewajiban utama seorang kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya. AllahTa’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu sendiri dan keluargamu”16.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”17.
Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits radhiallahu’anhu dan kaumnya mengunjungi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallamselama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau, kemudian RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah Ta’ala) kepada mereka18.
4. Pembimbing Dan Motivator
Seorang kepala keluarga adalah pemimpin dalam rumah tangganya, ini berarti dialah yang bertanggung jawab atas semua kebaikan dan keburukan dalam rumah tangganya dan dialah yang punya kekuasaan, dengan izin Allah Ta’ala, untuk membimbing dan memotivasi anggota keluarganya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka19.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mencontohkan sebaik-baik teladan sebagai pembimbing dan motivator. Dalam banyak hadits yang shahih, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam selalu memberikan bimbingan yang baik kepada orang-orang yang berbuat salah, sampaipun kepada anak yang masih kecil.
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melihat seorang anak kecil yang berlaku kurang sopan ketika makan, maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menegur dan membimbing anak tersebut, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (ketika hendak makan), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah (makanan) yang ada di depanmu20.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah melarang cucu beliau, Hasan bin ‘Aliradhiallahu’anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil, RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?21.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut22.
Memotivasi anggota keluarga dalam kebaikan juga dilakukan dengan mencontohkan dan mengajak anggota keluarga mengerjakan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dalam Islam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di malam hari lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya…23.
Teladan baik yang dicontohkan seorang kepala keluarga kepada anggota keluarganya merupakan sebab, setelah taufik dari Allah Ta’ala untuk memudahkan mereka menerima nasehat dan bimbingannya. Sebaliknya, contoh buruk yang ditampilkannya merupakan sebab besar jatuhnya wibawanya di mata mereka.
Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi24. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”25.
5. Bersikap Baik Dan Sabar Dalam Menghadapi Perlakuan Buruk Anggota Keluarganya
Seorang pemimpin keluarga yang bijak tentu mampu memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada anggota keluarganya, kemudian bersabar dalam menghadapi dan meluruskannya.
Ini termasuk pergaulan baik terhadap keluarga yang diperintahkan dalam firman Allah Ta’ala:
{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا}
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS an-Nisaa’: 19).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Berwasiatlah untuk berbuat baik kepada kaum wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas, maka jika kamu meluruskannya (berarti) kamu mematahkannya, dan kalau kamu membiarkannya maka dia akan terus bemgkok, maka berwasiatlah (untuk berbuat baik) kepada kaum wanita26.
Seorang istri bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك على طريقة”
Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya27.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyifati perempuan sebagai:
“…ناقصات عقل ودين”
“…Orang-orang yang kurang (lemah) akal dan agamanya28.
Maka seorang istri yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan29. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan.
Seorang laki-laki yang beriman tentu akan selalu menggunakan pertimbangan akal sehatnya ketika menghadapi perlakuan kurang baik dari orang lain, untuk kemudian dia berusaha menasehati dan meluruskannya dengan cara yang baik dan bijak, terlebih lagi jika orang tersebut adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu istri dan anak-anaknya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki beriman membenci seorang wanita beriman, kalau dia tidak menyukai satu akhlaknya, maka dia akan meridhai/menyukai akhlaknya yang lain30.
6. Selalu Mendoakan Kebaikan Bagi Anak Dan Istrinya
Termasuk sifat hamba-hamba Allah Ta’ala yang beriman adalah selalu mendoakan kebaikan bagi dirinya dan anggota keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqaan: 74).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan tentang kewajiban seorang suami terhadap istrinya, diantaranya: “…Dan tidak mendokan keburukan baginya31.
Maka kepala keluarga yang ideal tentu akan selalu mengusahakan dan mendoakan kebaikan bagi anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya, bahkan inilah yang menjadi sebab terhiburnya hatinya, yaitu ketika menyaksikan orang-orang yang dicintainya selalu menunaikan ketaatan kepada Allah Ta’ala32.

Penutup

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi orang-orang yang beriman, khusunya para kepala keluarga, untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji ini, untuk menjadikan mereka meraih kemuliaan dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat bersama anggota keluarga mereka, dengan taufik dari Allah Ta’ala.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 9 Rajab 1434 H
Catatan Kaki
1 HR at-Tirmidzi (no. 3895) dan Ibnu Hibban (no. 4177), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
2 Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (4/273).
3 Kitab “Faidul Qadiir” (3/498).
4 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/653) dan “Taissirul kariimir Rahmaan” (hal. 177)..
5 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/169) dan “Taissirul kariimir Rahmaan” (hal. 496).
6 Lihat kitab “Fathul Qadiir” (4/131).
7 Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).
8 Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
9 HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (1/293) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” (no. 7957).
10 Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 229).
11 Ibid (hal. 233).
12 Ibid.
13 HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
14 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).
15 HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
16 Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
17 Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
18 HSR al-Bukhari (no. 602).
19 HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).
20 HSR al-Bukhari (no. 5061) dan Muslim (no. 2022).
21 HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
22 Fathul Baari (3/355).
23 HR Abu Dawud (no. 1308) dan Ibnu Majah (no. 1336), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
24 Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala‘” (13/356).
25 Shifatush shafwah (2/409).
26 HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).
27 HSR Muslim (no. 1468).
28 HSR al-Bukhari (no. 298) dan Muslim (no. 132).
29 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 101).
30 HSR Muslim (no. 1469).
31 HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
32 Sebagaimana yang telah kami nukil di atas tentang makna ayat ini.
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, MA.
Artikel Muslim.Or.Id

Jumat, 17 Januari 2014

Suami Yang Murah Hati dan Istri Yang Mensyukuri Posted by al-Mawaddah

Oleh: Abu Ammar al-Ghoyami
Nafkah istri atau sering disebut ‘uang belanja’ ternyata memiliki peran yang cukup apik bagi banyak pasutri. Ia juga berperan aktif dalam menopang kokohnya bangunan rumah tangga. Bagi suami yang bertipe laki-laki sejati yang bertanggung jawab akan mudah baginya memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara halal lagi baik, sehingga akan membahagiakan istri dengan memenuhi hak-haknya.   Di sisi lain, ada istri yang bertipe tak tahu diuntung, tidak lagi peduli dengan apa yang harus dia lakukan dengan nafkah pemberian suaminya, maka petaka pun tak kuasa dihindari dan badai pun mengguncang biduk yang sedang berlayar di tengah samudra.
Cekcok terjadi, maudhu’ (tema)-nya “belanja keluarga”. Yang dipermasalahkan, pada umumnya bukan perihal suami yang tidak sedikitpun memberi istri belanja keluarga, namun tentang sedikitnya jumlah belanja yang diberikan sementara kemampuan suami sangat terbatas dalam memberi nafkah yang mencukupi, juga karena tuntutan istri kepada suaminya meminta uang belanja yang lebih besar jumlahnya serta tidak merasa cukup dengan nafkah yang wajar dan sesuai dengan keadaan. Hal-hal inilah yang mengakibatkan timbulnya keluhan dan benturan dalam kehidupan pasutri.
Sebagaimana dikisahkan dalam sebuah riwayat:
Dari Asma’ rodhiallohu’anha, dia berkata: “Aku berkata kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wassallam: ‘Sesungguhnya saya tidak memiliki sesuatu kecuali apa yang Zubair berikan kepada saya (tatkala dia mempersunting saya), maka saya mengambil sebagian hartanya.’ Beliau bersabda: ‘Ambil dan belanjakanlah tetapi jangan curang sehingga kecuranganmu akan mempersulitmu.’” (Hadits shohih, an-Nasai dalam Sunan Kubro 5/378/9192)
Cermatilah Faktor PenyebabnyaJika kita cermati kehidupan pasutri dari sebelum pernikahan hingga mereka halal hidup bersama, akan kita dapati latar belakang mereka berbeda-beda. Tentu saja kita memaklumi bahwa suami yang latar belakang kehidupannya biasa-biasa dan pas-pasan tidak layak dituntut memberikan belanja kepada istrinya yang melebihi kesanggupannya yang hanya pas-pasan itu. Di sisi lain, kita juga memaklumi apabila istri yang memiliki latar belakang kehidupan serba kecukupan, bahkan melebihi kebutuhannya, berbeda nafkahnya dengan istri yang latar belakangnya terbiasa hidup pas-pasan.
Latar belakang sosial yang berbeda-beda ini hanya satu faktor penyebab konflik keluarga seputar belanja. Ada pula beberapa faktor lain, seperti sifat istri yang berlebihan dalam membelanjakan nafkah suaminya atau sifat kikir suami terhadap istrinya. Semua itu harus dicermati lalu diperkecil dan bahkan harus ditiadakan pengaruhnya agar tidak menimbulkan konflik yang lebih besar dalam keluarga.
Harus Dipahami Bersama
Untuk menanggulangi masalah perlu ada kepahaman pasutri terhadap beberapa pokok yang mendasari kehidupan berkeluarga.
Pertama, bahwasanya pemberian nafkah kepada istri merupakan kewajiban yang sangat nyata bagi para suami.
Alloh menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….(QS. an-Nisa’ [4] : 34)
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi dari bapaknya berkata: Aku bertanya: “Ya Rosululloh, apa saja hak-hak istri salah seorang di antara kita yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ.
“Kamu memberinya makan bila kamu makan dan kamu beri pakaian bila kamu berpakaian dan jangan memukul wajahnya dan jangan pula kamu menjelek-jelekkannya dan jangan kamu memisahinya dari tempat tidurnya melainkan (kamu juga tetap tidur) di rumah.” (Hadits shohih, Abu Dawud: 2142 dan Ahmad 4/447)
Oleh karena itu, istri berhak meminta belanja kepada suaminya, di antaranya berupa makan, minum, maupun pakaian, sementara suami tidak boleh menolak hak istrinya tersebut dan dia harus membelanjakan hartanya untuk memenuhi hak-hak istrinya, sebab demikianlah yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rosul-Nya.
Kedua, bahwasanya kewajiban suami memberikan belanja kepada istri tidak ditetapkan batasannya selain “dengan cara yang ma’ruf”. Perhatikan firman Alloh Ta’ala berikut:
…. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS. al-Baqoroh [2]: 233)
Dalam ayat tersebut Alloh menetapkan batasan nafkah sandang dan pangan bagi istri atas suami dengan batasan ma’ruf. Artinya dengan cara yang paling patut menurut tradisi yang baik dan sesuai kesanggupan suami.
Terkadang masalah timbul ketika seorang suami memberikan batasan tertentu untuk anggaran belanja kebutuhan tertentu. Timbulnya masalah bukan lantaran dianggarkannya kebutuhan tersebut, melainkan karena besarnya anggaran tidak patut/sesuai dengan sikon yang baik. Hal ini harus dipahami oleh para suami.
Adapun para istri, mereka hendaknya mengambil pelajaran dari kisah dalam hadits berikut:
Dari Aisyah rodhialluhuanha bahwa Hindun bintu ’Utbah berkata: “Ya Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah tipe laki-laki kikir dan tidak memberi saya nafkah yang memadai untuk diri saya dan anak saya kecuali yang saya ambil dari sebagian hartanya dan dia tidak mengetahuinya.” Nabi mengatakan: “Ambillah sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara ma’ruf, yang patut.” (Muttafaqun ’alaih)
Yang Seharusnya DilakukanDari kedua hal pokok di atas, hendaknya para suami tak perlu ragu-ragu bekerja keras untuk memberikan nafkah sandang dan pangan yang cukup buat istri sesuai dengan kesanggupannya. Hendaknya sang suami merasa terhormat manakala mampu menafkahi istri dalam jumlah yang cukup menurut kadar kemampuannya, sebab dengan ini berarti ia telah membelanjakan hartanya yang paling utama. Rosululloh bersabda:
أَفْضَلُ دِيْنَارٍ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى عِيَالِهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ.
Dinar yang paling utama adalah yang dinafkahkan seorang suami bagi keluarganya, dan yang ia nafkahkan bagi tunggangan untuk jihad di jalan Alloh, dan yang ia nafkahkan untuk sahabat-sahabatnya dijalan Alloh. Hadits shohih, an-Nasa’i dalam sunan kubro: 5/376/9182


Nah, ini berarti suami seharusnya bersifat penderma, dan bangga sanggup bermurah hati kepada istrinya.
Sedangkan para istri, hendaknya mereka tidak menuntut nafkah belanja keluarga—sandang, pangan, maupun kebutuhan keluarga yang lainnya—secara berlebihan. Hendaknya dia hanya menuntut sebatas kewajaran dan sebatas apa yang umum terjadi di tengah kehidupan manusia. Dan harus diingat apa yang telah Alloh dan rosul-Nya tetapkan, bahwa batas kewajiban yang harus suami tunaikan kepada kalian adalah bil ma’ruf saja, seandainya istri dibolehkan menuntut dalam jumlah tertentu menurut syari’at, tentunya Rosululloh n akan menyuruh Hindun mengambil dengan “jumlah tertentu” tersebut dari harta suaminya, namun hal itu tidak beliau lakukan. Berarti kewajiban istri atas hak-hak yang diterimanya adalah mensyukuri meski seberapapun yang telah ia terima dengan cara yang ma’ruf.
Akhirulkalam, semua ini membuahkan sebuah kesimpulan bahwa kebahagiaan pasutri berkenaan dengan uang belanja ada pada kemurahan hati suami dan banyak bersyukurnya istri. Wallohu A’lam.

Jumat, 10 Januari 2014

Bekal-Bekal Menuju Pernikahan Sesuai Sunnah Nabi
Oleh : Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan 
Anggota dewan istimewa di Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama, Saudi Arabia, sejak 15 Rajab 1412 H.
Mukadimah
Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan telah disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.
Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut.
Manfaat Menikah
Nikah memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut :
1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela agamanya.
2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat.
3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman (artinya):
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An Nisa’ : 34)
4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).
5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.
6. Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia.
Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah.
Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)”.
Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman (artinya):
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(An Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman (artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)
Khitbah (Meminang)
Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. AtTirmidzi, 1087)
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat (berduaan) dengannya.
Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika aman dari fitnah”.
Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.
Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)
Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa
‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan
wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.
Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut :
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:
1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.
2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan : “Saya terima nikahnya”.
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)
Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:
1. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki anda” padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.
2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah:
“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya.
4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin
(belakangan)”.
Walimatul ‘Urs (Pesta Perkawinan)
Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu. Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﻭﺃ_ _ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki penamaan tersendiri.
Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.
Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah terhadap azab Allah.
Allah berfirman:
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)
Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.
Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang selanjutnya, berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).
Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus diberi hukuman”
2. Yang mengundang adalah seorang muslim
3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.
5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr (minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi dalam acara walimah sekarang.
Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi orangorang yang kaya diundang. (Meskipun emikian)
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)
Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).
sumber: http://ahlussunnah.web.id/11/02/2010/bekal-bekal-menuju-pernikahan-sesuai-sunnah-nabi