Oleh : Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan
Anggota dewan istimewa di Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama, Saudi Arabia, sejak 15 Rajab 1412 H.
Mukadimah
Islam adalah agama yang universal. Agama yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan
ini, melainkan telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan
telah disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan
sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara
banyak. Dari sejak mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana
cara berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam
memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan
menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap memperoleh
berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap ada daya tarik
tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.
Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat
menikah, hal-hal yang berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah,
rukun-rukun, dan syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari
pembahasan tersebut.
Manfaat Menikah
Nikah memiliki manfaat yang sangat besar,
sebagai berikut :
1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia,
memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan menjadikan orang kafir gentar
dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela
agamanya.
2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari
perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat.
3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri
dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman (artinya):
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” (An Nisa’ : 34)
4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi
suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).
5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji
yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.
6. Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan
antara yang satu dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia
lagi penuh kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak
binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia.
Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan
adanya pernikahan yang syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al
Qur’an dan As Sunnah.
Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para
wanita, sesungguhnya mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)”.
Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami
dan istri. Allah berfirman (artinya):
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu perjanjian yang kuat”.(An Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang
mengharuskan bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman (artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)
Khitbah (Meminang)
Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah
(meminang) seorang wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk
melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. AtTirmidzi, 1087)
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa
yang lazimnya nampak pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa
berkhalwat (berduaan) dengannya.
Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang
hendak meminang seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima,
untuk melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika
aman dari fitnah”.
Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku
(berkeinginan) melamar seorang gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya
sehingga aku bisa melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu
aku menikahinya” (HR. Abu Dawud, no. 2082).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak
berduaan dengan wanita tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia
dilihat oleh Jabir. Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita
(HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan
kondisi peminang atau yang dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang
ada padanya dari kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.
Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang
jelas (tashrih) kepada wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang
tidak bisa diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti
ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)
Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita
yang sedang dalam masa
‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku
sangat tertarik dengan
wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu
ada dalam jiwaku”.
Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih,
seperti ungkapan: “Saya ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan
lain kecuali nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.
‘iddahnya.
Diharamkan meminang wanita pinangan saudara
muslim lainnya. Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima
pinangannya, maka diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang
mukmin meminang wanita yang telah dipinang saudaranya hingga dia
meninggalkannya”. Dalam hadits Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari:
“Janganlah seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga
peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya
pinangan seorang muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti
peminang yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar
hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua
diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi peminang
kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah ditinggalkan”. Dan ini
termasuk kehormatan seorang muslim dan haram untuk merusak kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia
maju untuk meminang seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang
mendahului meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia
melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah diterima.
Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas bagi orang yang maju
untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh saudaranya ini untuk tidak
diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad Nikah, Rukun dan
Syarat-Syaratnya
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai
dengan khutbah sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah,
pent) yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para
hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut :
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami
memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada
Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan
barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi melainkan Allah
semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut
ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu
yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
(QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan
yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad
nikah ada 3, yaitu:
1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari
penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk
orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan
atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika
calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang muslimah.
Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.
2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh
wali atau yang menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria:
“Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh
calon mempelai pria atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan
mengucapkan : “Saya terima nikahnya”.
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul
Qoyyim, menguatkan pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang
menunjukkan arti nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau
Jawwaztuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah dengan
Ankahtuka atau Jawwaztuka karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS.
Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)
Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat
tersebut tidak berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah).
Wallahu a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau
isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka sah-lah akad
nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa bermaksud menikah
(Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang sah-nya akad, pent). Karena
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan
main-main maka jadinya sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka
jadinya pun sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat
sahnya nikah ada 4, yaitu:
1. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing
kedua mempelai dan tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan
anak saya” apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan
mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki anda”
padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Ta’yin bisa dilakukan dengan
menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau menyebutkan namanya, atau
sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan dengan yang lainnya.
2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah
jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu
Hurairah:
“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia
diminta perintahnya, dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila
ia diam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang
belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah
walinya. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah
pernikahan kecuali
dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali
Nasa’i).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya
sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu
merupakan penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam
berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya. Sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan, ditujukan kepada para
wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang
diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian
anaknya yang laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke
bawah, lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak,
kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak,
lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak
dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat
keturunan nasabnya seperti ahli waris, kemudian orang yang memerdekakannya
(jika dulu ia seorang budak, pent), kemudian baru hakim sebagai walinya.
4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali
dan dua orang saksi yang adil (baik agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari
Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh
Al-Albani no. 7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya
dua orang saksi yang adil.
Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami
oleh para sahabat Nabi dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka
berkata: “Tidak sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam
masalah ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin
(belakangan)”.
Walimatul ‘Urs (Pesta
Perkawinan)
Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan
berkumpulnya sesuatu. Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﱂﻭﺃ_ _ (Awlamar Rajulu) jika
terkumpul padanya akhlak dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk
penamaan acara makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya
mempelai lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan
walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah fuqoha
(para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang dibuat dengan
sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki penamaan tersendiri.
Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut
jumhur ulama. Sebagian ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf
radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan
menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas
tidak lepas dari kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang
biasanya tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di
hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian yang
menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan laki-laki yang
bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang besar dari Allah.
Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut
musik dan nyanyian yang menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk
memotret para wanita dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang
banyak tanpa faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan.
Maka bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah
terhadap azab Allah.
Allah berfirman:
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang
telah Kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS.
Al-Qoshosh: 58)
“Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebihlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang
berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan)
Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”
(Al-Baqoroh: 60)
Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat
banyak dan jelas.
Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri
walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Walimah tersebut adalah walimah yang
pertamajika walimahnya dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk
walimah yang selanjutnya, berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan
syari’at, pent), walimah kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah
riya’ dan sum’ah” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya).
Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan
menyembelih yang melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi
kebiasaan masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus
diberi hukuman”
2. Yang mengundang adalah seorang muslim
3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat
yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus,
bukan undangan umum.
5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut
seperti adanya khamr (minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang
banyak terjadi dalam acara walimah sekarang.
Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka
wajib memenuhi undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa
sallam :
“Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah
yang orang-orang miskin tidak diundang tetapi orangorang yang kaya diundang.
(Meskipun emikian)
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan
menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat
lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)
Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana
sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal
dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan” (HR. Nasa’i,
Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).
sumber:
http://ahlussunnah.web.id/11/02/2010/bekal-bekal-menuju-pernikahan-sesuai-sunnah-nabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar